BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Salah
satu masalah pokok kesehatan di negara-negara sedang berkembang adalah masalah
gangguan terhadap kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh kekurangan gizi. Gizi
buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi dan protein dalam asupan makanan sehari-hari hingga tidak memenuhi Angka
Kecukupan Gizi (AKG). Gizi buruk dapat disebabkan oleh daya beli keluarga
rendah/ekonomi lemah, lingkungan rumah yang kurang baik, pengetahuan gizi kurang,
perilaku kesehatan dan gizi keluarga kurang serta penyediaan sarana pendidikan
dan kesehatan yang masih kurang.
World Healt Organization
(WHO), menjelaskan bahwa permasalahan gizi dapat ditunjukan dengan besarnya
angka kejadian gizi buruk di negara tersebut. Angka kejadian gizi buruk di
Indonesia menduduki peringkat ke 142 dari 170 negara dan terendah di ASEAN. Data WHO menyebutkan angka
kejadian gizi buruk pada balita tahun 2002 meningkat 8,3% dan gizi kurang 27%.
Tahun 2007 lalu tercatat sebanyak 4 juta balita di Indonesia mengalami gizi
kurang dan 700 ribu anak dalam kategori gizi buruk.
Sedangkan berdasarkan data
dari Global
Hunger Index (GHI) tahun 2010, tingkat kelaparan dan gizi buruk di Indonesia sendiri
berada pada level 'serius', yaitu satu tingkat di bawah level
'mengkhawatirkan'.
Berdasarkan paparan data di atas dapat dilihat
bahwa anak yang menderita gizi buruk sangat banyak kejadian kasusnya di
Indonesia. Kasus gizi buruk ini menjadi salah satu masalah prioritas yang
ditangani oleh pemerintah. Walaupun dari tahun ke tahun terjadi penurunan angka
kejadian gizi buruk tetapi angka kejadiannya masih tinggi jika dibandingkan
dengan negara asia lainnya. Oleh karena itu,
usaha-usaha perbaikan gizi masyarakat dinegara ini merupakan salah satu usaha
kesehatan yang menonjol, yang menjadi bagian dari program pembangunan nasional.
1.2 Rumusan
Masalah
Makalah ini disusun berdasarkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah yang dimaksud dengan status gizi?
2.
Bagaimana cara penilaian status gizi?
3.
Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi status gizi
seseorang?
4.
Apa saja permasalahan tentang status gizi?
5.
Berapa angka kecukupan gizi yang dianjurkan?
6.
Apa yang dimaksud gizi buruk/busung lapar?
7.
Apa penyebab terjadinya gizi buruk?
8.
Bagaimana klasifikasi dan tanda-tanda gizi buruk?
9.
Bagaimana cara penanggulangan dan penanganan gizi
buruk?
1.3 Tujuan
1.
Dapat memahami definisi status gizi
2.
Dapat memahami cara penilaian status gizi
3.
Dapat memperluas wawasan tentang faktor-faktor yang memengaruhi
status gizi seseorang
4.
Dapat memperkaya pengetahuan tentang permasalahan-permasalahan
status gizi
5.
Dapat memahami angka kecukupan gizi yang dianjurkan
6.
Dapat memahami definisi gizi buruk
7.
Dapat memahami penyebab-penyebab terjadinya gizi buruk
8.
Dapat mengetahui klasifikasi dan tanda-tanda gizi
buruk
9.
Dapat mengetahui beberapa cara penanggulangan dan
penanganan gizi buruk
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan
dari makalah ini adalah agar dapat ditemukannya solusi yang tepat bagi kasus
penyakit busung lapar yang terjadi di Indonesia. Dan lebih dari itu, penulis
juga berharap agar kasus serupa tidak akan terjadi lagi di masa yang akan
datang.
BAB
II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep
Status Gizi
2.1.1 Pengertian
Status
gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat
dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status
gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan
gizi lebih (Almatsier, 2005).
Status
gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan
antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan dari
luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh
dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya (Nix, 2001).
Status gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh semua orang
(Apriadji, 1986).
Status
gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan
keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari
energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk
lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw, 2007).
Status
gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana
jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan
(Nix, 2005).
2.1.2
Penilaian Status Gizi
Penilaian
status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang diperoleh dengan
menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu populasi atau individu
yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih (Hartriyanti dan
Triyanti, 2007).
Penilaian
status gizi terdiri dari dua jenis, yaitu :
1.
Penilaian Langsung
a.
Antropometri
Antropometri
merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang berhubungan dengan ukuran
tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Pada umumnya
antropometri mengukur dimensi dan komposisi tubuh seseorang (Supariasa, 2001).
Metode antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan
protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi
zat-zat gizi yang spesifik (Gibson, 2005).
b.
Klinis
Pemeriksaan
klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan perubahan yang terjadi
yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi.
Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan epitel yang terdapat di mata,
kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang dekat dengan permukaan tubuh
(kelenjar tiroid) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
c.
Biokimia
Pemeriksaan
biokimia disebut juga cara laboratorium. Pemeriksaan biokimia pemeriksaan yang
digunakan untuk mendeteksi adanya defisiensi zat gizi pada kasus yang lebih
parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan dalam suatu bahan biopsi sehingga
dapat diketahui kadar zat gizi atau adanya simpanan di jaringan yang paling
sensitif terhadap deplesi, uji ini disebut uji biokimia statis (Baliwati,
2004).
d.
Biofisik
Pemeriksaan
biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat kemampuan
fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur jaringan yang dapat digunakan
dalam keadaan tertentu, seperti kejadian buta senja (Supariasa, 2002).
2.
Penilaian Tidak Langsung
a.
Survei Konsumsi Makanan
Survei
konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat
jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu maupun keluarga. Data
yang didapat dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif
dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sedangkan data
kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan cara seseorang maupun keluarga
dalam memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhan gizi (Baliwati, 2004).
b.
Statistik Vital
Statistik
vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui data-data
mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi, seperti angka
kematian menurut umur tertentu, angka penyebab kesakitan dan kematian,
statistik pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan
kekurangan gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
c.
Faktor Ekologi
Penilaian
status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah gizi dapat terjadi
karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor biologis, faktor
fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor ekologi digunakan
untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah (malnutrition) di suatu
masyarakat yang nantinya akan sangat berguna untuk melakukan intervensi gizi
(Supariasa, 2002).
2.1.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
a.
Faktor Langsung
1)
Konsumsi Makanan
Faktor
makanan merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang karena konsumsi makan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh,
baik kualitas maupun kuantitas dapat menimbulkan masalah gizi
(Khumaidi,1996).
2)
Infeksi
Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi
juga karena penyakit. Anak mendapatkan makanan cukup baik tetapi sering
diserang diare atau demam, akhirnya
dapat menderita KEP. Sebaliknya
anak yang makannya tidak cukup baik, daya tahan tubuh dapat melemah. Dalam
keadaan demikian mudah diserang infeksi,
kurang nafsu makan, dan akhirnya mudah terserang KEP (Soekirman, 2000)
b.
Faktor tidak langsung
1.
Tingkat Pendapatan
Pendapatan
keluarga merupakan penghasilan dalam jumlah
uang yang akan dibelanjakan oleh keluarga
dalam bentuk makanan. Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif
mudah diukur dan berpengaruh besar terhadap konsumen pangan. Golongan miskin
menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan,
dimana untuk keluarga di negara
berkembang sekitar dua pertiganya (Suhardjo, 1996).
2.
Pengetahuan Gizi
Pengetahuan
gizi ibu merupakan proses untuk merubah sikap
dan perilaku masyarakat untuk mewujudkan
kehidupan yang sehat jasmani dan
rohani. Pengetahuan ibu yang ada kaitannya
dengan kesehatan dan gizi erat hubungannya
dengan pendidikan ibu. Semakin
tinggi pendidikan akan semakin tinggi pula pengetahuan akan kesehatan dan gizi keluarganya. Hal ini akan
mempengaruhi kualitas dan kuantitas zat gizi yang dikonsumsi oleh anggota
keluarga ( Soekirman,2000).
3.
Sanitasi Lingkungan
Keadaan
sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis
penyakit antara lain diare, kecacingan,dan infeksi saluran pencernaan. Apabila
anak menderita infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan
terganggu yang menyebabkan terjadinya kekurangan zat gizi. Seseorang kekurangan
zat gizi akan mudah terserang penyakit,dan pertumbuhan akan terganggu
(Supariasa dkk,2002).
2.1.4
Masalah Gizi Kurang
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi
seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh
memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan
kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami
kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh (Almatsier, 2005).
Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang
banyak dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat
terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang mengenai
gizi dan perilaku belum sadar akan status gizi. Contoh masalah kekurangan gizi,
antara lain KEP (Kekurangan Energi Protein), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan
Iodium), Anemia Gizi Besi (AGB) (Apriadji, 1986).
2.1.5 Masalah Gizi Lebih
Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang
yang mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah
asupan energi yang disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada yang
menyebutkan bahwa masalah gizi lebih identik dengan kegemukan. Kegemukan dapat
menimbulkan dampak yang sangat berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit
degeneratif, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi,
gangguan ginjal dan masih banyak lagi (Soerjodibroto, 1993).
Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan
obesitas. Batas IMT untuk dikategorikan overweight adalah antara 25,1 – 27,0
kg/m2, sedangkan obesitas adalah ≥ 27,0 kg/m2 (Suyono, 1986).
2.1.6 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
Angka Kecukupan Energi (AKE) merupakan rata-rata
tingkat konsumsi energi dengan pangan yang seimbang yang disesuaikan dengan
pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan
aktivitas fisik. Angka Kecukupan Protein (AKP) merupakan rata-rata konsumsi
protein untuk menyeimbangkan protein agar tercapai semua populasi orang sehat
disesuaikan dengan kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas
fisik. Kecukupan karbohidrat sesuai dengan pola pangan yang baik berkisar
antara 50-65% total energi, sedangkan kecukupan lemak berkisar antara 20-30%
total energi (Hardinsyah dan Tambunan, 2004).
2.2
Konsep Busung Lapar/Gizi Buruk
2.2.1
Pengertian
Busung Lapar atau gizi buruk
adalah kondisi kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam asupan makanan sehari-hari hingga tidak memenuhi Angka Kecukupan
Gizi (AKG) (http://eug3n14.wordpress.com).
Menurut Wikipedia, Busung lapar (honger oedem) adalah sebuahfenomena
penyakit di Indonesia yang diakibatkan kekurangan protein kronispada anak yang
sering disebabkan beberapa hal antara lain anak tidak cukupmendapat makanan
bergizi, anak tidak mendapat asupan gizi yang memadai,atau anak mungkin
menderita infeksi penyakit. “Busung lapar disebabkan cara bersama atau
salah satu dari simptoma Marasmus dan
Kwashiorkor” (http://id.wikipedia.org).
2.2.2 Etiologi
Busung lapar disebabkan oleh
keadaan kurang gizi karena rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan
sehari-hari mereka sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG). Keadaan
kurang gizi itu biasa disebut dengan kurang energi protein (KEP).
Busung lapar yang dalam
bahasa Belanda disebut honger oedem (HO) itu antara lain dapat terjadi karena
masalah ekonomi orang tua yang terimpit kemiskinan. Anak menderita sakit yang
tak sembuh-sembuh sehingga susah makan. Sanitasi lingkungan yang buruk dan
pemahaman warga terhadap kesehatan kurang. Selain itu, bisa juga disebabkan
oleh pola konsumsi yang tidak memperhatikan keseimbangan gizi. Hal itu dapat
menimpa siapa saja, tidak mengenal status ekonomi. Anak orang yang berkecukupan
pun bila tidak diperhatikan keseimbangan gizinya dapat terkena gizi buruk (http://ilmugreen.blogspot.com).
2.2.3 Klasifikasi
a. Untuk tingkat puskesmas
penentuan KEP yang dilakukan dengan menimbang BB anak dibandingkan dengan umur
dan menggunakan KMS dan Tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS
1. KEP ringan bila hasil
penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita warna kuning
2. KEP sedang bila hasil
penimbangan berat badan pada KMS terletak di Bawah Garis Merah (BGM).
3. KEP berat/gizi buruk bila
hasil penimbangan BB/U <60% baku median WHO-NCHS.
Pada KMS tidak ada
garis pemisah KEP berat/Gizi buruk dan KEP sedang, sehingga untuk menentukan
KEP berat/gizi buruk digunakan Tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS (http://ilmugreen.blogspot.com).
b.
Dengan mengukur tinggi badan dan LIngkar Lengan
Atas (LILA) bila tidak sesuai dengan standar anak yang normal waspadai
akan terjadi gizi buruk (http://eug3n14.wordpress.com).
2.2.4.
Tanda-tanda
Ada 3 jenis busung lapar (gizi buruk) yang
sering ditemui dan sangat berbahaya yaitu kwashiorkor, marasmus dan
gabungan dari keduanya marasmic-kwashiorkor.
Tanda-tanda busung lapar (Gizi Buruk)
berbeda-beda menurut jenisnya.
Untuk jenis Kwashiorkor tanda-tanda yang
terjadi adalah sebagai berikut:
-
Bengkak pada seluruh tubuh terutama
pada punggung kaki dan bila ditekan akan meninggalkan bekas seperti lubang
-
Otot mengecil dan menyebabkan lengan atas
kurus sehingga ukuran LILA-nya kurang dari 14 cm
-
Timbulnya ruam berwarna merah muda yang
meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
-
Tidak nafsu makan
-
Rambutnya menipis berwarna merah seperti
rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menimbulkan rasa sakit
-
Wajah anak membulat dan sembab (moon face)
-
Cengeng/rewel dan apatis
-
Sering disertai infeksi, anemia dan diare
Sedangkan untuk jenis Maramus
tanda-tandanya :
-
Anak sangat kurus tampak tulang terbungkus
kulit.
-
Tulang rusuk menonjol
-
Wajahnya seperti orang tua (monkey face)
-
Kulit keriput (jaringan lemak sangat
sedikit sampai tidak ada )
-
Cengeng/rewel
-
Perut cekung sering disertai diare kronik
(terus menerus) atau susah buang air kecil
Tanda-tanda Marasmic – Kwashiorkor adalah:
-
Campuran dari beberapa tanda tanda
Kwashiorkor dan maramus disertai pembengkakan yang tidak menyolok.
Dampak dari gizi buruk (busung lapar)
pada anak bukan hanya tubuh yang kurus tetapi lebih dari itu. Gizi buruk dapat
mengakibatkan menurunnya tingkat kecerdasan anak, rabun senja dan penderita
gizi buruk lebih rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi.
2.2.5
Penanggulangan Gizi Buruk
1.
Upaya pemenuhan persediaan pangan nasional terutama
melalui peningkatan produksi beraneka ragam pangan;
2.
Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yng
diarahkan pada pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan
tingkat rumah tangga;
3.
Peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem
rujukan dimulai dari tingkat Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), hingga Puskesmas
dan Rumah Sakit;
4.
Peningkatan upaya keamanan pangan dan gizi melalui
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG);
5.
Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi
di bidang pangan dan gizi masyarakat;
6.
Peningkatan teknologi pangan untuk mengembangkan
berbagai produk pangan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat luas;
7.
Intervensi langsung kepada sasaran melalui pemberian
makanan tambahan (PMT), distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, tablet dan
sirup besi serta kapsul minyak beriodium;
8.
Peningkatan kesehatan lingkungan;
9.
Upaya fortifikasi bahan pangan dengan vitamin A,
Iodium, dan Zat Besi;
10.
Upaya pengawasan makanan dan minuman;
11.
Upaya penelitian dan pengembangan pangan dan gizi.
2.2.6 Penatalaksanaan
Penanganan
KEP meliputi pemberian diet dengan protein, karbohidrat, vitamin, dan
mineral kualitas tinggi. Apabila KEP terjadi sebagai akibat diare, tiga tujuan
penanganan harus diidentifikasi :
a.
Rehidrasi dengan larutan rehidrasi oral yang juga ,mengganti elektrolit
b.
Obat seperti antibiotik dan antidiare
c.
Pemberian nutrisi yang adekuat baik dengan pemberian ASI maupun diet yang baik
saat penyapihan. Bila anak terlalu sakit untuk mentoleransi cairan oral, pemberian
cairan dan elektrolit intravena diperlukan untuk mencegah kematian (http://ilmugreen.blogspot.com).
Rabu, 25 November 2009
Busung Lapar, Kemiskinan dan
Komitmen Pemerintah
Kemiskinan tampaknya sudah menjadi masalah lama yang terus-menerus dihadapi bangsa ini. Semenjak bangsa ini mengukuhkan kemerdekaannya hingga berkali-kali terjadinya pergantian kepala negara, persoalan kemiskinan tetap menjadi masalah yang belum juga terselesaikan.
Masalah kemiskinan sebenarnya telah diperingatkan bahkan sejak setengah abad yang lalu. Ketika itu tahun 1950-an, bekerja sama dengan beberapa universitas, sejumlah sarjana dan mahasiswa melakukan riset, perbandingan dan studi mendalam tentang sebab-sebab terjadinya stagnasi ekonomi di pedesaan. Desa menjadi fokus perhatian karena mayoritas rakyat Indonesia hidup di sana. Buku Clifford Geertz, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul ’Involusi Pertanian di P Jawa’ adalah bagian dari hasil riset tersebut.
Geertz menguraikan kemiskinan kolektif beranak pinak berbarengan dengan merosotnya produktivitas dan fragmentasi lahan pertanian. Tidak hanya para peneliti, sastrawan pun telah mengingatkan masalah kemiskinan ini.
Dalam Majalah Siasat Edisi 18 Juni 1950, sastrawan Sultan Takdir Alisahbana mengatakan, pemerintah tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan bagi 70 juta rakyat Indonesia. Kalau STA masih hidup, ia pasti heran, ketidakmampuan itu ternyata justru berkesinambungan hingga saat ini. Bahkan, saat mulai terjadi kelaparan di beberapa kecamatan di Nusa Tenggara Timur, banyak pemimpin maupun elite partai politik mengabaikan fakta-fakta kemelaratan dan menganggapnya sebagai peristiwa yang baru terjadi kemarin.
Setelah lebih dari setengah abad, masalah kemiskinan ternyata masih saja mendera bangsa ini. Berbagai peristiwa di abad modern ini telah membuktikan hal ini. Munculnya wilayah rawan pangan, beragam peristiwa kelaparan di berbagai daerah, semakin membeludaknya para pencari kerja, hingga keluhan-keluhan merosotnya daya beli mereka dalam menghadapi kenaikan harga barang kebutuhan tampaknya sudah menjadi keseharian hidup masyarakat yang kian menempatkan mereka dalam lilitan jerat-jerat kemiskinan.
Tahun 2004 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan mencapai 36,1 juta dari 217 juta penduduk Indonesia. Suatu jumlah yang memilukan. Masalah kemiskinan makin mencuat ketika muncul kasus busung lapar akibat gizi buruk di beberapa daerah di tanah air. Busung lapar hanyalah muara dari permasalahan bangsa ini yang belum kunjung terselesaikan: kemiskinan.
Namun, kemiskinan di Indonesia adalah suatu hal yang sangat ironi. Bank Dunia mencatat, jumlah penduduk Indonesia yang berpendapatan kurang dari 2 dollar AS atau Rp 19.000 per hari mencapai 60 persen. Sebaliknya, deposito dengan volume terkecil Rp 5 miliar jumlahnya meliputi 95 persen dari jumlah seluruh deposito yang terhimpun pada sejumlah bank, diperkirakan hanya dimiliki oleh 14.000 orang terkaya.
Pemerintah yang diharapkan mampu menolong masyarakat miskin dari persoalan ini belum banyak diharapkan. Selama ini langkah kebijakan para penguasa negara dianggap belum mampu mengatasi persoalan kemiskinan di negeri ini. Hal demikian tampak pula dalam berbagai persoalan lainnya, seperti perbaikan kondisi perekonomian, upaya meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, hingga penyediaan sarana pendidikan maupun kesehatan yang dinilai masih jauh dari kondisi memadai. Padahal, yang tidak kalah mengkhawatirkan, saat ini sejalan dengan terjadinya peningkatan harga-harga barang kebutuhan membuat beban kehidupan ekonomi mereka kian memberat.
Lalu, pelajaran apa yang dapat dipetik dari semua itu? Pada 1970-an posisi Indonesia belum begitu buruk dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Bahkan, dibanding dengan Korea selatan, kemampuan industri otomotif Indonesia lebih kurang sama. Dua dekade kemudian, Korsel sudah memproduksi mobil sendiri dan mengekspornya. Sementara Indonesia tetap sebagai perakit dan importir. Lebih ironis lagi dibandingkan dengan Malaysia. Tahun 1970-an negara jiran ini mendatangkan tenaga dokter, guru, montir, ahli pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan dari Indonesia. Ribuan mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia atas biaya pemerintahnya. Sejarah berputar dua dekade kemudian. Ribuan mahasiswa Indonesia belajar tentang pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan di Malaysia. Jika diukur dari pendapatan per kapita, saat ini Malaysia mencapai 4.000 dollar AS, sedangkan Indonesia masih berkisar 725 dollar AS.
Kemajuan ekonomi rakyat Malaysia lebih nyata lagi diukur dari porsi ekonomi yang dikuasai warga Melayu, yang tadinya merupakan lapisan termiskin. Melonjak dari 1,5 persen tahun 1970 menjadi 23 persen tahun 2003. Sedangkan equity korporasi meningkat dari 2,5 persen tahun 1970 menjadi 30 persen tahun 1990. Sekarang diperkirakan mendekati 40 persen.
Sementara keadaan di Indonesia sendiri tidak banyak berubah. Banyak kalangan yang buta terhadap fakta ini, dengan dalih penduduk Malaysia hanya 25,5 juta jiwa. Mereka lupa tidak ada hubungan kemelaratan dengan jumlah penduduk. AS dengan wilayah dan penduduk yang lebih besar dari Indonesia, misalnya, pendapatan per kapitanya lebih 30 kali Indonesia. Penduduk RRC sekitar 1,3 miliar, namun tidak menyebabkan rakyat melarat dan pemerintah mengemis utang luar negeri.
Komitmen pemerintah, siapa pun presidennya, harus dijaga untuk secara konsisten memberantas kemiskinan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan, yang beberapa hal telah dilakukan pemerintah sebelumnya –menunjukkan indikasi keberhasilan. Diantaranya adalah menggerakkan ekonomi pedesaan melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) atas prakarsa (alm) Prof Mubyarto, program babonisasi di Bantul (DIY) atas prakarsa Bupati Idham Samawi, maupun program gaduhan ternak. Jika langkah-langkah penting itu mendapat dukungan penuh dari pemerintah sebagai program nasional yang berkelanjutan, akan menjadikan perekonomian di desa bergerak lebih cepat sekaligus mampu mengangkat derajad masyarakat pedesaan.
Sumber:
1. URL : Http://www.wikipedia.com
2. www.Poultryindonesia.com, Opini.
Kemiskinan tampaknya sudah menjadi masalah lama yang terus-menerus dihadapi bangsa ini. Semenjak bangsa ini mengukuhkan kemerdekaannya hingga berkali-kali terjadinya pergantian kepala negara, persoalan kemiskinan tetap menjadi masalah yang belum juga terselesaikan.
Masalah kemiskinan sebenarnya telah diperingatkan bahkan sejak setengah abad yang lalu. Ketika itu tahun 1950-an, bekerja sama dengan beberapa universitas, sejumlah sarjana dan mahasiswa melakukan riset, perbandingan dan studi mendalam tentang sebab-sebab terjadinya stagnasi ekonomi di pedesaan. Desa menjadi fokus perhatian karena mayoritas rakyat Indonesia hidup di sana. Buku Clifford Geertz, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul ’Involusi Pertanian di P Jawa’ adalah bagian dari hasil riset tersebut.
Geertz menguraikan kemiskinan kolektif beranak pinak berbarengan dengan merosotnya produktivitas dan fragmentasi lahan pertanian. Tidak hanya para peneliti, sastrawan pun telah mengingatkan masalah kemiskinan ini.
Dalam Majalah Siasat Edisi 18 Juni 1950, sastrawan Sultan Takdir Alisahbana mengatakan, pemerintah tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan bagi 70 juta rakyat Indonesia. Kalau STA masih hidup, ia pasti heran, ketidakmampuan itu ternyata justru berkesinambungan hingga saat ini. Bahkan, saat mulai terjadi kelaparan di beberapa kecamatan di Nusa Tenggara Timur, banyak pemimpin maupun elite partai politik mengabaikan fakta-fakta kemelaratan dan menganggapnya sebagai peristiwa yang baru terjadi kemarin.
Setelah lebih dari setengah abad, masalah kemiskinan ternyata masih saja mendera bangsa ini. Berbagai peristiwa di abad modern ini telah membuktikan hal ini. Munculnya wilayah rawan pangan, beragam peristiwa kelaparan di berbagai daerah, semakin membeludaknya para pencari kerja, hingga keluhan-keluhan merosotnya daya beli mereka dalam menghadapi kenaikan harga barang kebutuhan tampaknya sudah menjadi keseharian hidup masyarakat yang kian menempatkan mereka dalam lilitan jerat-jerat kemiskinan.
Tahun 2004 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan mencapai 36,1 juta dari 217 juta penduduk Indonesia. Suatu jumlah yang memilukan. Masalah kemiskinan makin mencuat ketika muncul kasus busung lapar akibat gizi buruk di beberapa daerah di tanah air. Busung lapar hanyalah muara dari permasalahan bangsa ini yang belum kunjung terselesaikan: kemiskinan.
Namun, kemiskinan di Indonesia adalah suatu hal yang sangat ironi. Bank Dunia mencatat, jumlah penduduk Indonesia yang berpendapatan kurang dari 2 dollar AS atau Rp 19.000 per hari mencapai 60 persen. Sebaliknya, deposito dengan volume terkecil Rp 5 miliar jumlahnya meliputi 95 persen dari jumlah seluruh deposito yang terhimpun pada sejumlah bank, diperkirakan hanya dimiliki oleh 14.000 orang terkaya.
Pemerintah yang diharapkan mampu menolong masyarakat miskin dari persoalan ini belum banyak diharapkan. Selama ini langkah kebijakan para penguasa negara dianggap belum mampu mengatasi persoalan kemiskinan di negeri ini. Hal demikian tampak pula dalam berbagai persoalan lainnya, seperti perbaikan kondisi perekonomian, upaya meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, hingga penyediaan sarana pendidikan maupun kesehatan yang dinilai masih jauh dari kondisi memadai. Padahal, yang tidak kalah mengkhawatirkan, saat ini sejalan dengan terjadinya peningkatan harga-harga barang kebutuhan membuat beban kehidupan ekonomi mereka kian memberat.
Lalu, pelajaran apa yang dapat dipetik dari semua itu? Pada 1970-an posisi Indonesia belum begitu buruk dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Bahkan, dibanding dengan Korea selatan, kemampuan industri otomotif Indonesia lebih kurang sama. Dua dekade kemudian, Korsel sudah memproduksi mobil sendiri dan mengekspornya. Sementara Indonesia tetap sebagai perakit dan importir. Lebih ironis lagi dibandingkan dengan Malaysia. Tahun 1970-an negara jiran ini mendatangkan tenaga dokter, guru, montir, ahli pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan dari Indonesia. Ribuan mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia atas biaya pemerintahnya. Sejarah berputar dua dekade kemudian. Ribuan mahasiswa Indonesia belajar tentang pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan di Malaysia. Jika diukur dari pendapatan per kapita, saat ini Malaysia mencapai 4.000 dollar AS, sedangkan Indonesia masih berkisar 725 dollar AS.
Kemajuan ekonomi rakyat Malaysia lebih nyata lagi diukur dari porsi ekonomi yang dikuasai warga Melayu, yang tadinya merupakan lapisan termiskin. Melonjak dari 1,5 persen tahun 1970 menjadi 23 persen tahun 2003. Sedangkan equity korporasi meningkat dari 2,5 persen tahun 1970 menjadi 30 persen tahun 1990. Sekarang diperkirakan mendekati 40 persen.
Sementara keadaan di Indonesia sendiri tidak banyak berubah. Banyak kalangan yang buta terhadap fakta ini, dengan dalih penduduk Malaysia hanya 25,5 juta jiwa. Mereka lupa tidak ada hubungan kemelaratan dengan jumlah penduduk. AS dengan wilayah dan penduduk yang lebih besar dari Indonesia, misalnya, pendapatan per kapitanya lebih 30 kali Indonesia. Penduduk RRC sekitar 1,3 miliar, namun tidak menyebabkan rakyat melarat dan pemerintah mengemis utang luar negeri.
Komitmen pemerintah, siapa pun presidennya, harus dijaga untuk secara konsisten memberantas kemiskinan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan, yang beberapa hal telah dilakukan pemerintah sebelumnya –menunjukkan indikasi keberhasilan. Diantaranya adalah menggerakkan ekonomi pedesaan melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) atas prakarsa (alm) Prof Mubyarto, program babonisasi di Bantul (DIY) atas prakarsa Bupati Idham Samawi, maupun program gaduhan ternak. Jika langkah-langkah penting itu mendapat dukungan penuh dari pemerintah sebagai program nasional yang berkelanjutan, akan menjadikan perekonomian di desa bergerak lebih cepat sekaligus mampu mengangkat derajad masyarakat pedesaan.
Sumber:
1. URL : Http://www.wikipedia.com
2. www.Poultryindonesia.com, Opini.
Diposkan oleh gazaxavier di 05:52 

Label: Tulisan
BAB
III
PEMBAHASAN
Jika kita bicara tentang busung
lapar/gizi buruk, pasti tidak dapat dipisahkan dengan kemiskinan. Namun,
kemiskinan bukan satu-satunya faktor penyebab terjadinya busung lapar ini.
Banyak faktor yang mempengaruhi busung lapar dan faktor tersebut saling berkaitan. Secara langsung, pertama, anak kurang mendapat asupan
gizi seimbang dalam waktu cukup lama, dan kedua, anak menderita penyakit infeksi.
Anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara
optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu
tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai
dan sanitasi/kesehatan lingkungan kurang baik serta akses pelayanan kesehatan terbatas.
Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga. Berdasarkan hasil analisis, faktor
risiko penyebab gizi buruk di Indonesia adalah faktor rendahnya tingkat
pendapatan dan daya beli, munculnya wilayah rawan pangan dan diperberat lagi dengan penyediaan sarana pendidikan maupun
kesehatan yang dinilai masih jauh dari kondisi memadai.
Bahkan dalam
artikel juga disebutkan saat mulai terjadi kelaparan di beberapa kecamatan di
Nusa Tenggara Timur, banyak pemimpin maupun elite partai politik mengabaikan
fakta-fakta kemelaratan dan menganggapnya sebagai peristiwa yang baru terjadi
kemarin. Akibat dari kesalahan ini,
maka rakyat hidupnya selalu jauh dari sejahtera. Hal ini senada dengan
pendapatRobert L. Sassone (1994) “Kelaparan mencerminkan ketidaksanggupan pemerintah
dalam menghargai harkat dan martabat manusia dan kegagalan pemerintah dalam
mengadakan pangan secara merata.”Sejak pelaksanaan otonomi daerah, sistem
pemantauan tidak pernah berfungsi. Pemerintah hanya terfokus pada masalah
politik terutama menyambut Pilkada dan masih lestarinya sistem Asal Bapak
Senang (ABS).
Gizi buruk yang terjadi di gudang beras seperti
Indonesia seharusnya tidak boleh terjadi. Ironis sekali negara berlabel agraris
namun rakyatnya kelaparan. Sehingga pemerintah berkewajiban untuk nenuntaskan
masalah ini hingga tuntas dan melakukan langkah-langkah antisipatif agar
kejadian serupa tidak terulang lagi dikemudian hari. Adapun
langkah-langkah yang mungkin direalisasikan adalah sebagai berikut:
1.
Upaya pemenuhan persediaan pangan nasional terutama
melalui peningkatan produksi beraneka ragam pangan.
2.
Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yng
diarahkan pada pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan
tingkat rumah tangga.
3.
Peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem
rujukan dimulai dari tingkat Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), hingga Puskesmas
dan Rumah Sakit.
4.
Peningkatan upaya keamanan pangan dan gizi melalui
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG).
5.
Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi
di bidang pangan dan gizi masyarakat.
6.
Peningkatan teknologi pangan untuk mengembangkan
berbagai produk pangan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat luas.
7.
Intervensi langsung kepada sasaran melalui pemberian
makanan tambahan (PMT), distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, tablet dan
sirup besi serta kapsul minyak beriodium.
8.
Peningkatan kesehatan lingkungan.
9.
Upaya fortifikasi bahan pangan dengan vitamin A,
Iodium, dan Zat Besi.
10.
Upaya pengawasan makanan dan minuman.
11.
Upaya penelitian dan pengembangan pangan dan gizi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi
yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam asupan makanan
sehari-hari hingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).
Kasus busung lapar/gizi buruk yang terjadi
di Indonesia menunjukkan bahwa masalah gizi, selain merupakan masalah
kesehatan, juga terkait dengan masalah kesejahteraan masyarakat (pendidikan,
sosial ekonomi, budaya dan politik). Hal ini ironis sekali, negara berlabel
agraris namun rakyatnya kelaparan. Sehingga Pemerintah berkewajiban untuk
nenuntaskan masalah ini hingga tuntas dan melakukan langkah-langkah antisipatif
agar kejadian serupa tidak terulang lagi dikemudian hari.
4.2 Saran
Agar langkah-langkah antisipatif
dapat berjalan dengan efektif, maka keterlibatan dan kerja sama masyarakat
dengan pemerintah sangat dibutuhkan. Masyarakat hendaknya sadar akan pentingnya
gizi dan mengikuti apa yang disarankan pemerintah selama saran-saran itu baik
dan benar. Pemerintah, sebagai pelayan masyarakat, juga hendaknya melayani masyarakat dengan sepenuh hati. Tidak menyalah gunakan
wewenang dan kekuasaan yang dipercayakan oleh rakyat karena pemerintah
adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat
Hai Dwi, saya seorang praktisi PR yang mewakili beberapa perusahaan kesehatan. Makalah ini sangat menarik, mungkinkah saya bisa mengkutip makalah anda? Kami juga ingin mengetahui lebih jauh tentang referensi yang digunakan di makalah ini. Terima kasih.
BalasHapus