Selasa, 01 Januari 2013

Makalah Status Gizi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Salah satu masalah pokok kesehatan di negara-negara sedang berkembang adalah masalah gangguan terhadap kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh kekurangan gizi. Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam asupan makanan sehari-hari hingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Gizi buruk dapat disebabkan oleh daya beli keluarga rendah/ekonomi lemah, lingkungan rumah yang kurang baik, pengetahuan gizi kurang, perilaku kesehatan dan gizi keluarga kurang serta penyediaan sarana pendidikan dan kesehatan yang masih kurang.
World Healt Organization (WHO), menjelaskan bahwa permasalahan gizi dapat ditunjukan dengan besarnya angka kejadian gizi buruk di negara tersebut. Angka kejadian gizi buruk di Indonesia menduduki peringkat ke 142 dari 170 negara dan terendah di ASEAN. Data WHO menyebutkan angka kejadian gizi buruk pada balita tahun 2002 meningkat 8,3% dan gizi kurang 27%. Tahun 2007 lalu tercatat sebanyak 4 juta balita di Indonesia mengalami gizi kurang dan 700 ribu anak dalam kategori gizi buruk.
Sedangkan berdasarkan data dari Global Hunger Index (GHI) tahun 2010, tingkat kelaparan dan gizi buruk di Indonesia sendiri berada pada level 'serius', yaitu satu tingkat di bawah level 'mengkhawatirkan'.
Berdasarkan paparan data di atas dapat dilihat bahwa anak yang menderita gizi buruk sangat banyak kejadian kasusnya di Indonesia. Kasus gizi buruk ini menjadi salah satu masalah prioritas yang ditangani oleh pemerintah. Walaupun dari tahun ke tahun terjadi penurunan angka kejadian gizi buruk tetapi angka kejadiannya masih tinggi jika dibandingkan dengan negara asia lainnya. Oleh karena itu, usaha-usaha perbaikan gizi masyarakat dinegara ini merupakan salah satu usaha kesehatan yang menonjol, yang menjadi bagian dari program pembangunan nasional.

1.2  Rumusan Masalah
Makalah ini disusun berdasarkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.         Apakah yang dimaksud dengan status gizi?
2.         Bagaimana cara penilaian status gizi?
3.         Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi status gizi seseorang?
4.         Apa saja permasalahan tentang status gizi?
5.         Berapa angka kecukupan gizi yang dianjurkan?
6.         Apa yang dimaksud gizi buruk/busung lapar?
7.         Apa penyebab terjadinya gizi buruk?
8.         Bagaimana klasifikasi dan tanda-tanda gizi buruk?
9.         Bagaimana cara penanggulangan dan penanganan gizi buruk?

1.3  Tujuan
1.    Dapat memahami definisi status gizi
2.    Dapat memahami cara penilaian status gizi
3.    Dapat memperluas wawasan tentang faktor-faktor yang memengaruhi status gizi seseorang
4.    Dapat memperkaya pengetahuan tentang permasalahan-permasalahan status gizi
5.    Dapat memahami angka kecukupan gizi yang dianjurkan
6.    Dapat memahami definisi gizi buruk
7.    Dapat memahami penyebab-penyebab terjadinya gizi buruk
8.    Dapat mengetahui klasifikasi dan tanda-tanda gizi buruk
9.    Dapat mengetahui beberapa cara penanggulangan dan penanganan gizi buruk

1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari makalah ini adalah agar dapat ditemukannya solusi yang tepat bagi kasus penyakit busung lapar yang terjadi di Indonesia. Dan lebih dari itu, penulis juga berharap agar kasus serupa tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Status Gizi
2.1.1 Pengertian
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih (Almatsier, 2005).
Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya (Nix, 2001). Status gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh semua orang (Apriadji, 1986).
Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw, 2007).
Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Nix, 2005).

2.1.2 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
Penilaian status gizi terdiri dari dua jenis, yaitu :
1. Penilaian Langsung
a. Antropometri
Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi dan komposisi tubuh seseorang (Supariasa, 2001). Metode antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat-zat gizi yang spesifik (Gibson, 2005).
b. Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan epitel yang terdapat di mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang dekat dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
c. Biokimia
Pemeriksaan biokimia disebut juga cara laboratorium. Pemeriksaan biokimia pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya defisiensi zat gizi pada kasus yang lebih parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan dalam suatu bahan biopsi sehingga dapat diketahui kadar zat gizi atau adanya simpanan di jaringan yang paling sensitif terhadap deplesi, uji ini disebut uji biokimia statis (Baliwati, 2004).
d. Biofisik
Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur jaringan yang dapat digunakan dalam keadaan tertentu, seperti kejadian buta senja (Supariasa, 2002).

2. Penilaian Tidak Langsung
a. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu maupun keluarga. Data yang didapat dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sedangkan data kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan cara seseorang maupun keluarga dalam memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhan gizi (Baliwati, 2004).

b. Statistik Vital
Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui data-data mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi, seperti angka kematian menurut umur tertentu, angka penyebab kesakitan dan kematian, statistik pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan kekurangan gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
c. Faktor Ekologi
Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah gizi dapat terjadi karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor biologis, faktor fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor ekologi digunakan untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah (malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat berguna untuk melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2002).

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
a. Faktor Langsung
1) Konsumsi Makanan 
Faktor makanan  merupakan salah satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang karena konsumsi makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan  tubuh, baik kualitas maupun  kuantitas  dapat menimbulkan masalah gizi (Khumaidi,1996).
2) Infeksi
Timbulnya  KEP tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak mendapatkan makanan cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya  dapat menderita  KEP. Sebaliknya anak yang makannya tidak cukup baik, daya tahan tubuh dapat melemah. Dalam keadaan demikian  mudah diserang infeksi, kurang nafsu makan, dan akhirnya mudah terserang KEP (Soekirman, 2000)

b. Faktor tidak langsung
1. Tingkat Pendapatan
Pendapatan keluarga  merupakan penghasilan dalam jumlah uang yang  akan dibelanjakan oleh keluarga dalam bentuk makanan. Kemiskinan sebagai penyebab  gizi kurang menduduki posisi pertama  pada kondisi yang  umum. Hal ini harus mendapat perhatian  serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar terhadap konsumen pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, dimana untuk keluarga  di negara berkembang sekitar dua pertiganya (Suhardjo, 1996).
2. Pengetahuan Gizi
Pengetahuan gizi ibu merupakan  proses untuk merubah sikap dan perilaku masyarakat untuk mewujudkan  kehidupan yang  sehat jasmani dan rohani. Pengetahuan ibu  yang ada kaitannya dengan kesehatan dan gizi erat hubungannya  dengan pendidikan  ibu. Semakin tinggi pendidikan akan semakin tinggi pula pengetahuan  akan kesehatan  dan gizi keluarganya. Hal ini akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas zat gizi yang dikonsumsi oleh anggota keluarga ( Soekirman,2000).
3. Sanitasi Lingkungan
Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan,dan infeksi saluran pencernaan. Apabila anak menderita infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu yang menyebabkan terjadinya kekurangan zat gizi. Seseorang kekurangan zat gizi akan mudah terserang penyakit,dan pertumbuhan akan terganggu (Supariasa dkk,2002).

2.1.4 Masalah Gizi Kurang
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh (Almatsier, 2005).
Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status gizi. Contoh masalah kekurangan gizi, antara lain KEP (Kekurangan Energi Protein), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), Anemia Gizi Besi (AGB) (Apriadji, 1986).

2.1.5 Masalah Gizi Lebih
Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah asupan energi yang disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada yang menyebutkan bahwa masalah gizi lebih identik dengan kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang sangat berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan ginjal dan masih banyak lagi (Soerjodibroto, 1993).
Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas. Batas IMT untuk dikategorikan overweight adalah antara 25,1 – 27,0 kg/m2, sedangkan obesitas adalah ≥ 27,0 kg/m2 (Suyono, 1986).

2.1.6 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
Angka Kecukupan Energi (AKE) merupakan rata-rata tingkat konsumsi energi dengan pangan yang seimbang yang disesuaikan dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas fisik. Angka Kecukupan Protein (AKP) merupakan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein agar tercapai semua populasi orang sehat disesuaikan dengan kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas fisik. Kecukupan karbohidrat sesuai dengan pola pangan yang baik berkisar antara 50-65% total energi, sedangkan kecukupan lemak berkisar antara 20-30% total energi (Hardinsyah dan Tambunan, 2004).

2.2 Konsep Busung Lapar/Gizi Buruk
2.2.1 Pengertian
Busung Lapar atau gizi buruk adalah kondisi kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam asupan makanan sehari-hari hingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) (http://eug3n14.wordpress.com).
Menurut Wikipedia, Busung lapar (honger oedem) adalah sebuahfenomena penyakit di Indonesia yang diakibatkan kekurangan protein kronispada anak yang sering disebabkan beberapa hal antara lain anak tidak cukupmendapat makanan bergizi, anak tidak mendapat asupan gizi yang memadai,atau anak mungkin menderita infeksi penyakit. “Busung lapar disebabkan cara bersama atau salah satu dari simptoma Marasmus dan Kwashiorkor” (http://id.wikipedia.org).

2.2.2 Etiologi
Busung lapar disebabkan oleh keadaan kurang gizi karena rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari mereka sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG). Keadaan kurang gizi itu biasa disebut dengan kurang energi protein (KEP).
Busung lapar yang dalam bahasa Belanda disebut honger oedem (HO) itu antara lain dapat terjadi karena masalah ekonomi orang tua yang terimpit kemiskinan. Anak menderita sakit yang tak sembuh-sembuh sehingga susah makan. Sanitasi lingkungan yang buruk dan pemahaman warga terhadap kesehatan kurang. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh pola konsumsi yang tidak memperhatikan keseimbangan gizi. Hal itu dapat menimpa siapa saja, tidak mengenal status ekonomi. Anak orang yang berkecukupan pun bila tidak diperhatikan keseimbangan gizinya dapat terkena gizi buruk (http://ilmugreen.blogspot.com).

2.2.3 Klasifikasi
a. Untuk tingkat puskesmas penentuan KEP yang dilakukan dengan menimbang BB anak dibandingkan dengan umur dan menggunakan KMS dan Tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS
1.    KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita warna kuning 
2.    KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di Bawah Garis Merah (BGM).
3.    KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U <60% baku median WHO-NCHS.
Pada KMS  tidak ada garis pemisah KEP berat/Gizi buruk dan KEP sedang, sehingga untuk menentukan KEP berat/gizi buruk digunakan Tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS (http://ilmugreen.blogspot.com).
b. Dengan mengukur tinggi badan dan LIngkar Lengan Atas (LILA)  bila tidak sesuai dengan standar anak yang normal waspadai akan terjadi gizi buruk (http://eug3n14.wordpress.com).

2.2.4. Tanda-tanda
Ada 3 jenis busung lapar (gizi buruk) yang sering ditemui dan sangat berbahaya yaitu kwashiorkor,  marasmus dan gabungan dari keduanya marasmic-kwashiorkor.
Tanda-tanda busung lapar (Gizi Buruk) berbeda-beda menurut jenisnya.
Untuk jenis Kwashiorkor tanda-tanda yang terjadi adalah sebagai berikut:
-        Bengkak  pada seluruh tubuh terutama pada punggung kaki dan bila ditekan akan meninggalkan bekas seperti lubang
-        Otot mengecil dan menyebabkan lengan atas kurus sehingga ukuran LILA-nya kurang dari 14 cm
-        Timbulnya ruam berwarna merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
-        Tidak nafsu makan
-        Rambutnya menipis berwarna merah seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menimbulkan rasa sakit
-        Wajah anak membulat dan sembab (moon face)
-        Cengeng/rewel dan apatis
-        Sering disertai infeksi, anemia dan diare
Sedangkan untuk jenis Maramus tanda-tandanya :
-        Anak sangat kurus tampak tulang terbungkus kulit.
-        Tulang rusuk menonjol
-        Wajahnya seperti orang tua (monkey face)
-        Kulit keriput (jaringan lemak sangat sedikit sampai tidak ada )
-        Cengeng/rewel
-        Perut cekung sering disertai diare kronik (terus menerus) atau susah buang air kecil
Tanda-tanda Marasmic – Kwashiorkor adalah:
-        Campuran dari beberapa tanda tanda Kwashiorkor dan maramus disertai pembengkakan yang tidak menyolok.
Dampak dari gizi buruk (busung lapar) pada anak bukan hanya tubuh yang kurus tetapi lebih dari itu. Gizi buruk dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kecerdasan anak, rabun senja dan penderita gizi buruk lebih rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi.
2.2.5 Penanggulangan Gizi Buruk
1.    Upaya pemenuhan persediaan pangan nasional terutama melalui peningkatan produksi beraneka ragam pangan;
2.    Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yng diarahkan pada pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga;
3.    Peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan dimulai dari tingkat Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), hingga Puskesmas dan Rumah Sakit;
4.    Peningkatan upaya keamanan pangan dan gizi melalui Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG);
5.     Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi di bidang pangan dan gizi masyarakat;
6.    Peningkatan teknologi pangan untuk mengembangkan berbagai produk pangan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat luas;
7.    Intervensi langsung kepada sasaran melalui pemberian makanan tambahan (PMT), distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, tablet dan sirup besi serta kapsul minyak beriodium;
8.    Peningkatan kesehatan lingkungan;
9.    Upaya fortifikasi bahan pangan dengan vitamin A, Iodium, dan Zat Besi;
10.                        Upaya pengawasan makanan dan minuman;
11.                        Upaya penelitian dan pengembangan pangan dan gizi.

2.2.6 Penatalaksanaan
Penanganan KEP  meliputi pemberian diet dengan protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral kualitas tinggi. Apabila KEP terjadi sebagai akibat diare, tiga tujuan penanganan harus diidentifikasi : 
a.    Rehidrasi dengan larutan rehidrasi oral yang juga ,mengganti elektrolit
b.    Obat seperti antibiotik dan antidiare
c.    Pemberian nutrisi yang adekuat baik dengan pemberian ASI maupun diet yang baik saat penyapihan. Bila anak terlalu sakit untuk mentoleransi cairan oral, pemberian cairan dan elektrolit intravena diperlukan untuk mencegah kematian (http://ilmugreen.blogspot.com).


Rabu, 25 November 2009

Artikel B. Indonesia1 (Busung Lapar dan Kemiskinan)
Busung Lapar, Kemiskinan dan Komitmen Pemerintah

Kemiskinan tampaknya sudah menjadi masalah lama yang terus-menerus dihadapi bangsa ini. Semenjak bangsa ini mengukuhkan kemerdekaannya hingga berkali-kali terjadinya pergantian kepala negara, persoalan kemiskinan tetap menjadi masalah yang belum juga terselesaikan.
Masalah kemiskinan sebenarnya telah diperingatkan bahkan sejak setengah abad yang lalu. Ketika itu tahun 1950-an, bekerja sama dengan beberapa universitas, sejumlah sarjana dan mahasiswa melakukan riset, perbandingan dan studi mendalam tentang sebab-sebab terjadinya stagnasi ekonomi di pedesaan. Desa menjadi fokus perhatian karena mayoritas rakyat Indonesia hidup di sana. Buku Clifford Geertz, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul ’Involusi Pertanian di P Jawa’ adalah bagian dari hasil riset tersebut.
Geertz menguraikan kemiskinan kolektif beranak pinak berbarengan dengan merosotnya produktivitas dan fragmentasi lahan pertanian. Tidak hanya para peneliti, sastrawan pun telah mengingatkan masalah kemiskinan ini.
Dalam Majalah Siasat Edisi 18 Juni 1950, sastrawan Sultan Takdir Alisahbana mengatakan, pemerintah tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan bagi 70 juta rakyat Indonesia. Kalau STA masih hidup, ia pasti heran, ketidakmampuan itu ternyata justru berkesinambungan hingga saat ini. Bahkan, saat mulai terjadi kelaparan di beberapa kecamatan di Nusa Tenggara Timur, banyak pemimpin maupun elite partai politik mengabaikan fakta-fakta kemelaratan dan menganggapnya sebagai peristiwa yang baru terjadi kemarin.
Setelah lebih dari setengah abad, masalah kemiskinan ternyata masih saja mendera bangsa ini. Berbagai peristiwa di abad modern ini telah membuktikan hal ini. Munculnya wilayah rawan pangan, beragam peristiwa kelaparan di berbagai daerah, semakin membeludaknya para pencari kerja, hingga keluhan-keluhan merosotnya daya beli mereka dalam menghadapi kenaikan harga barang kebutuhan tampaknya sudah menjadi keseharian hidup masyarakat yang kian menempatkan mereka dalam lilitan jerat-jerat kemiskinan.
Tahun 2004 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan mencapai 36,1 juta dari 217 juta penduduk Indonesia. Suatu jumlah yang memilukan. Masalah kemiskinan makin mencuat ketika muncul kasus busung lapar akibat gizi buruk di beberapa daerah di tanah air. Busung lapar hanyalah muara dari permasalahan bangsa ini yang belum kunjung terselesaikan: kemiskinan.
Namun, kemiskinan di Indonesia adalah suatu hal yang sangat ironi. Bank Dunia mencatat, jumlah penduduk Indonesia yang berpendapatan kurang dari 2 dollar AS atau Rp 19.000 per hari mencapai 60 persen. Sebaliknya, deposito dengan volume terkecil Rp 5 miliar jumlahnya meliputi 95 persen dari jumlah seluruh deposito yang terhimpun pada sejumlah bank, diperkirakan hanya dimiliki oleh 14.000 orang terkaya.
Pemerintah yang diharapkan mampu menolong masyarakat miskin dari persoalan ini belum banyak diharapkan. Selama ini langkah kebijakan para penguasa negara dianggap belum mampu mengatasi persoalan kemiskinan di negeri ini. Hal demikian tampak pula dalam berbagai persoalan lainnya, seperti perbaikan kondisi perekonomian, upaya meningkatkan ketersediaan lapangan kerja, hingga penyediaan sarana pendidikan maupun kesehatan yang dinilai masih jauh dari kondisi memadai. Padahal, yang tidak kalah mengkhawatirkan, saat ini sejalan dengan terjadinya peningkatan harga-harga barang kebutuhan membuat beban kehidupan ekonomi mereka kian memberat.
Lalu, pelajaran apa yang dapat dipetik dari semua itu? Pada 1970-an posisi Indonesia belum begitu buruk dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Bahkan, dibanding dengan Korea selatan, kemampuan industri otomotif Indonesia lebih kurang sama. Dua dekade kemudian, Korsel sudah memproduksi mobil sendiri dan mengekspornya. Sementara Indonesia tetap sebagai perakit dan importir. Lebih ironis lagi dibandingkan dengan Malaysia. Tahun 1970-an negara jiran ini mendatangkan tenaga dokter, guru, montir, ahli pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan dari Indonesia. Ribuan mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia atas biaya pemerintahnya. Sejarah berputar dua dekade kemudian. Ribuan mahasiswa Indonesia belajar tentang pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan di Malaysia. Jika diukur dari pendapatan per kapita, saat ini Malaysia mencapai 4.000 dollar AS, sedangkan Indonesia masih berkisar 725 dollar AS.
Kemajuan ekonomi rakyat Malaysia lebih nyata lagi diukur dari porsi ekonomi yang dikuasai warga Melayu, yang tadinya merupakan lapisan termiskin. Melonjak dari 1,5 persen tahun 1970 menjadi 23 persen tahun 2003. Sedangkan equity korporasi meningkat dari 2,5 persen tahun 1970 menjadi 30 persen tahun 1990. Sekarang diperkirakan mendekati 40 persen.
Sementara keadaan di Indonesia sendiri tidak banyak berubah. Banyak kalangan yang buta terhadap fakta ini, dengan dalih penduduk Malaysia hanya 25,5 juta jiwa. Mereka lupa tidak ada hubungan kemelaratan dengan jumlah penduduk. AS dengan wilayah dan penduduk yang lebih besar dari Indonesia, misalnya, pendapatan per kapitanya lebih 30 kali Indonesia. Penduduk RRC sekitar 1,3 miliar, namun tidak menyebabkan rakyat melarat dan pemerintah mengemis utang luar negeri.
Komitmen pemerintah, siapa pun presidennya, harus dijaga untuk secara konsisten memberantas kemiskinan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan, yang beberapa hal telah dilakukan pemerintah sebelumnya –menunjukkan indikasi keberhasilan. Diantaranya adalah menggerakkan ekonomi pedesaan melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) atas prakarsa (alm) Prof Mubyarto, program babonisasi di Bantul (DIY) atas prakarsa Bupati Idham Samawi, maupun program gaduhan ternak. Jika langkah-langkah penting itu mendapat dukungan penuh dari pemerintah sebagai program nasional yang berkelanjutan, akan menjadikan perekonomian di desa bergerak lebih cepat sekaligus mampu mengangkat derajad masyarakat pedesaan.











Sumber:
1. URL : Http://www.wikipedia.com
2. www.Poultryindonesia.com, Opini.
Diposkan oleh gazaxavier di 05:52
Label: Tulisan

BAB III
PEMBAHASAN

Jika kita bicara tentang busung lapar/gizi buruk, pasti tidak dapat dipisahkan dengan kemiskinan. Namun, kemiskinan bukan satu-satunya faktor penyebab terjadinya busung lapar ini. Banyak faktor yang mempengaruhi busung lapar dan faktor tersebut saling berkaitan. Secara langsung, pertama, anak kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama, dan kedua, anak menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai dan sanitasi/kesehatan lingkungan kurang baik serta akses pelayanan kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga. Berdasarkan hasil analisis, faktor risiko penyebab gizi buruk di Indonesia adalah faktor rendahnya tingkat pendapatan dan daya beli, munculnya wilayah rawan pangan dan diperberat lagi dengan penyediaan sarana pendidikan maupun kesehatan yang dinilai masih jauh dari kondisi memadai.
Bahkan dalam artikel juga disebutkan saat mulai terjadi kelaparan di beberapa kecamatan di Nusa Tenggara Timur, banyak pemimpin maupun elite partai politik mengabaikan fakta-fakta kemelaratan dan menganggapnya sebagai peristiwa yang baru terjadi kemarin. Akibat dari kesalahan ini, maka rakyat hidupnya selalu jauh dari sejahtera. Hal ini senada dengan pendapatRobert L. Sassone (1994) “Kelaparan mencerminkan ketidaksanggupan pemerintah dalam menghargai harkat dan martabat manusia dan kegagalan pemerintah dalam mengadakan pangan secara merata.”Sejak pelaksanaan otonomi daerah, sistem pemantauan tidak pernah berfungsi. Pemerintah hanya terfokus pada masalah politik terutama menyambut Pilkada dan masih lestarinya sistem Asal Bapak Senang (ABS).
Gizi buruk yang terjadi di gudang beras seperti Indonesia seharusnya tidak boleh terjadi. Ironis sekali negara berlabel agraris namun rakyatnya kelaparan. Sehingga pemerintah berkewajiban untuk nenuntaskan masalah ini hingga tuntas dan melakukan langkah-langkah antisipatif agar kejadian serupa tidak terulang lagi dikemudian hari. Adapun langkah-langkah yang mungkin direalisasikan adalah sebagai berikut:
1.         Upaya pemenuhan persediaan pangan nasional terutama melalui peningkatan produksi beraneka ragam pangan.
2.         Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yng diarahkan pada pemberdayaan keluarga untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga.
3.         Peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan dimulai dari tingkat Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), hingga Puskesmas dan Rumah Sakit.
4.         Peningkatan upaya keamanan pangan dan gizi melalui Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG).
5.          Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi di bidang pangan dan gizi masyarakat.
6.         Peningkatan teknologi pangan untuk mengembangkan berbagai produk pangan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat luas.
7.         Intervensi langsung kepada sasaran melalui pemberian makanan tambahan (PMT), distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, tablet dan sirup besi serta kapsul minyak beriodium.
8.         Peningkatan kesehatan lingkungan.
9.         Upaya fortifikasi bahan pangan dengan vitamin A, Iodium, dan Zat Besi.
10.     Upaya pengawasan makanan dan minuman.
11.     Upaya penelitian dan pengembangan pangan dan gizi.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam asupan makanan sehari-hari hingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).
Kasus busung lapar/gizi buruk yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa masalah gizi, selain merupakan masalah kesehatan, juga terkait dengan masalah kesejahteraan masyarakat (pendidikan, sosial ekonomi, budaya dan politik). Hal ini ironis sekali, negara berlabel agraris namun rakyatnya kelaparan. Sehingga Pemerintah berkewajiban untuk nenuntaskan masalah ini hingga tuntas dan melakukan langkah-langkah antisipatif agar kejadian serupa tidak terulang lagi dikemudian hari.

4.2 Saran
Agar langkah-langkah antisipatif dapat berjalan dengan efektif, maka keterlibatan dan kerja sama masyarakat dengan pemerintah sangat dibutuhkan. Masyarakat hendaknya sadar akan pentingnya gizi dan mengikuti apa yang disarankan pemerintah selama saran-saran itu baik dan benar. Pemerintah, sebagai pelayan masyarakat, juga hendaknya melayani masyarakat dengan sepenuh hati. Tidak menyalah gunakan wewenang dan kekuasaan yang dipercayakan oleh rakyat karena pemerintah adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat